Kamis, 30 Juni 2011

Empat Bulan Dicuekin Daddy

Setiap keputusan, tentu mengandung risiko. Ini amat disadari Dimas yang harus dicuekin sang Ayah, gara-gara ia terjun ke dunia entertain.

Setiap libur sekolah datang, Mami pasti mengajakku jalan-jalan ke luar kota, atau ke luar negeri. Senang deh, bisa menghabiskan banyak waktu bersama Mami. Seperti Oktober 2004, aku amat menikmati diajak Mami berlibur ke Bali. Sayangnya di tengah liburan, aku harus menerima beberapa gangguan.
Ada beberapa orang yang mengaku manager artis, menelepon dan minta aku jadi artisnya. Apa coba! Masa tiba-tiba telepon, dan minta aku jadi artis. Enggak banget. Februari tahun depannya kan, aku mau meneruskan SMA ke Australia. Selain itu, aku juga enggak punya gambaran seperti apa bekerja di dunia hiburan. Aku bahkan enggak pernah nonton siaran teve lokal, lo.

Alhasil dengan sopan kutolak tawaran-tawaran tersebut. "Maaf Mas, saya masih mau sekolah dan saat ini saya tidak bisa bertemu karena sedang ada di Bali," jelasku. Untungnya mereka mau mengerti.
Namun ada satu yang tetap keukeuh. Namanya Deddy Nur. "Ya udah, deh, kita ketemuan aja dulu. Kamu kan ke Australia Februari. Jadi coba aja dulu," bujuk Mas Deddy. Karena bingung mau ngomong apa, akhirnya kuiyakan saja ajakan bertemu setibanya aku di Jakarta nanti.

Takut Dikasting
Jujur aku bingung bagaimana mereka bisa kenal dan tahu nomor HP ku. Selidik punya selidik, ternyata Mas Deddy mendapat info tentangku dari seorang temannya yang bekerja di sebuah majalah remaja, Kawanku.
Ya, dulu Kawanku memang pernah bikin acara di sekolahku, Labschool, Kemayoran. Waktu itu, aku diminta bikin testimonial mengenai sebuah tema, dan testimonial ini dimuat di majalah tersebut beserta fotoku.
Meski sudah kadung janji bertemu, beberapa kali aku masih mencoba menghindar. Tapi Mas Deddy terus memaksa, hingga kemudian aku menyerah. "Oke, aku mau coba. Tapi dengan catatan, tanpa ada ikatan kontrak."

Aku tak mau dikontrak karena aku kan, masih sekolah. "Juga masih di bawah umur, nih," begitu aku bilang pada Mas Deddy. Waktu itu umurku baru 16 tahun. Jadi Mas Deddy aku persilakan membicarakan masalah ini dengan Mamiku.
Sejak bergabung dengan manajemen yang dipimpin Mas Deddy, aku bisa kenal langsung dengan artis Raffi Ahmad dan Laudia Chintya Bella, yang juga anak asuh Mas Deddy.
Dari Bella aku mengenal dunia akting, sebab dia lah yang paling sering mengajakku ke lokasi syuting. Hingga kini pun kami masih akrab, meski Bella tak lagi satu manajemen denganku.

Melihat dunia akting dari dekat, ternyata tidak cukup membuatku pede untuk ikut kasting. Jujur, aku malu dan takut kalau-kalau aku ditolak rumah produksi. "Ayo dong, Dim, dikasting. Kalau engga mau, bagaimana mereka bisa tahu kemampuan lu," begitu kata Bella.

Dicueking Ayah
Suatu siang, Mas Deddy tiba-tiba menjemputku di sekolah. Kupikir, kami akan nongkrong di kantornya, seperti biasa. Tapi ternyata tidak. Mobil malah dilaju Mas Deddy menuju kantor Soraya Film. Kata Mas Deddy, aku akan dikasting untuk sebuah film. Karena sudah sampai, aku pun tak bisa menolak lagi.
Seperti tahu apa yang ada di benakku, Bunda Dewi, salah satu yang mengkastingku, menenangkan. "Kalau kamu enggak diterima di film ini, kita masih punya banyak job lain untuk kamu. Jadi jangan khawatir," ujar Bunda Dewi. Mendengarnya, aku pun bisa kasting dengan tenang.

Usai kasting, aku makan di warteg depan kantor Soraya Film. Tengah menyantap makanan, telepon genggamku berdering. Suara di seberang mengatakan, Sunil Soraya, salah satu produser Soraya Film, ingin bertemu denganku. Singkat cerita, Sunil ingin aku memerankan Angga untuk film terbarunya kala itu, Apa Artinya Cinta? (AAC?).

Agak sulit untukku memerankan tokoh Angga yang depresif. Maklum, aku belum berpengalaman. Berniat membantuku, akhirnya Mami menghubungi sahabatnya, Tante Jajang C. Noer, untuk mengajariku berakting.
Agar bisa sampai kepada tokoh Angga, Tante Jajang menyuruhku mengingat satu pengalaman terburuk yang pernah kualami. Tapi, jujur, aku tidak punya pengalaman buruk! Akhirnya kuputuskan untuk belajar tekhnik akting dari buku yang ditulis Eka Sitorus. Berkat buku Eka Sitorus, aku jadi bisa akting marah, nangis, bahkan depresi. Hebat ya, bukunya.
Tapi, sukses berakting, ternyata harus kubayar mahal. Dad marah dan nyuekin aku. Enggak tanggung-tanggung, empat bulan lamanya Dad mendiamkanku.
Sinetron Setelah Lulus
Kalau dipikir-pikir, wajar sih, Dad marah padaku. Saat mengambil keputusan, aku memang tidak konsultasi dulu dengannya. Apalagi, Dad kan, sudah mempersiapkan sekolah baruku di Australia.
Dad kalau marah memang lebih suka diam. Dia enggak pernah maki-maki, teriak, atau memukul anak-anaknya. Selama Dad diam, aku pun tidak kalah diam. Hingga akhirnya Dad mau mengerti dan menyetujui keputusanku, dengan syarat aku harus bergaul dengan orang-orang yang benar dan tidak melupakan sekolah. Okey, Dad, I will!
Bisa ditebak, hidupku selanjutnya berubah total. Kalau tadinya setiap hari sepulang sekolah aku les atau nongkrong bersama teman-teman, kini aku sibuk promo film ke berbagai tempat. Senang, sih. Tapi capek juga.
Satu yang diwanti-wanti Mami dari awal, aku tidak boleh terima tawaran main sinetron. Menurutku alasan Mami masuk akal. Jadwal syuting sinetron yang selalu stripping alias kejar tayang, sudah pasti akan mengganggu sekolahku. Mami bahkan mengultimatum, aku hanya diizinkan main sinetron setelah lulus sekolah nanti. Itupun jika bisa lulus dengan nilai di atas rata-rata.
Kekhawatiran Mami memang terbukti. Nilaiku di semester awal kelas tiga, jeblok. Melihat itu, beberapa guruku memberi ultimatum, "Kalau nilai kamu terus begini, kami tidak akan memberi kamu izin untuk syuting lagi, Dimas."
Mendengarnya, aku pun berusaha keras memperbaiki nilaiku. Setiap kali aku punya waktu luang, di mana dan kapan pun, selalu kuisi dengan belajar, belajar dan belajar. Hingga akhirnya, alhamdulillah, aku bisa lulus dengan nilai memuaskan.
Mami Stroke
Peristiwa buruk harus kualami tak lama setelah pemutaran perdana film AAC?. Mami tercinta terserang stroke karena pendarahan otak, hingga harus masuk ICU. Sebelumnya, Mami enggak pernah mengeluh sakit. Baru setelah kejadian itulah aku tahu kalau Mami punya kelainan di pembuluh darahnya.
Tubuh Mami yang biasanya bugar, aktif dan ceria, tiba-tiba terbujur lunglai tak berdaya. Melihatnya seperti itu, aku jadi takut. Aku takut jika harus kehilangan Mami. Kalau bisa, aku ingin sekali menggantikan posisinya.
Saking stresnya, aku telpon kakakku di Australia. Sambil menangis aku bilang, "Aduh, gue harus gimana, dong? Gue sendirian di sini." Tapi rupanya Mami tak menghendaki kedatangan abang dan kakakku ke Indonesia. "Takut mengganggu kuliah," ujar Mami.
Di sinilah tingkat kedewasaanku diuji. Selain harus bersekolah, aku juga menyempatkan mengurus rumah dan pekerjaan kantor Mami. Untungnya, sedang tidak ada syuting.
Setelah dua minggu, Mami akhirnya bisa keluar dari rumah sakit. Takut Mami tak bisa istirahat total, aku kemudian memutar otak mencari akal agar Mami terhindar dari teman-temannya yang datang menjenguk.
Kemudian aku meminjam sebuah paviliun di rumah sahabatku, untuk tempat Mami memulihkan diri. Kemudian aku minta izin ke orangtua salah seorang sahabat untuk memakai paviliun mereka sebagai tempat pemulihan Mami.

Setiap hari aku bolak-balik rumah, sekolah dan paviliun. Tak lupa aku memantau kondisi Mami setiap waktu, mulai dari suster, makanan diet, dan obat-obatan yang diminum. Senang sekali rasanya ketika enam bulan kemudian Mami sudah sehat dan fit kembali.
Pernah aku meminta Mami untuk berhenti kerja. Aku pikir, cukuplah beliau memantau perusahaannya dari rumah saja. Tapi Mami tidak mau. Mami sudah terbiasa kerja dari dulu.

Bagiku, Mami itu wonder woman. Mami orang yang luar biasa, pintar dan kuat. Ditaruh dalam situasi apapun, dia mampu menghadapinya. Tidak sepertiku yang masih manja dan ketergantungan pada orang lain, seperti supir, manager, dan asisten. Aku memang harus banyak belajar dari Mami.


sumber: http://default.tabloidnova.com/article.php?name=/dimas-beck-empat-bulan-dicuekin-ayah-2&channel=selebriti%2Fprofil

Tidak ada komentar:

Posting Komentar