Kamis, 30 Juni 2011

Cari Perhatian

Berangkat dari keluarga broken home, tak membuat Dimas Kahlil Sudoyo Beck kehilangan arah. Meski kerap cari perhatian sang Mami, host acara musik Inbox ini membuktikan, sanggup mandiri dan berkarier cemerlang.

Datang dari keluarga yang broken home, aku tumbuh sebagai anak yang manja dan suka cari perhatian. Tapi sikap ini khusus kutujukan pada Mamiku tersayang saja. Ya, orangtuaku bercerai saat aku duduk di kelas 3 SD Tadika Puri, Cipete.
Sebelumnya, aku memang sering melihat Mami, Ida Sudoyo, dan Dad, Syarif Beck, bertengkar. Tapi tidak hebat. Hanya cekcok kecil. Kalaupun Mami menangis, tak pernah di depanku maupun kedua kakakku, Dan Beck dan Dewi Beck . Mami begitu menjaga perasaan kami.

Anak Broken Home
Hingga pada suatu hari, Mami mendatangi kami bertiga. Mami mengaku tak tahan lagi tinggal serumah dengan Dad. Mami bertanya, bolehkah ia dan Dad berpisah. Aku dan kedua kakakku seiya-sekata. "Tak masalah," begitu jawab kami.Meski terbilang paling muda di rumah, aku yang kelahiran 8 Mei 1988 ini dituntut bisa mengerti masalah orang dewasa. Mungkin perpisahan merupakan jalan terbaik bagi mereka. Daripada satu rumah, tapi tidak rukun, begitu pikirku.

Ketika Mami dan Dad akhirnya bercerai, kami anak-anaknya tak kaget. Kami juga tak sempat mengalami depresi. Proses perpisahan mereka lakukan dengan baik, mulai dari pisah ranjang, pisah rumah, hingga akhirnya bercerai.

Penjelasan Mami pun bisa membuatku mengerti dan menerima semua ini. Mami bilang, ada mantan suami, ada mantan istri, tapi tidak ada mantan anak. "Kamu tetap anak Mami dan Dad, Dimas."

Sejak itu aku dan Mami pun pindah ke rumah Oma. Sedang Dad, abang dan kakakku, masih di rumah kami yang lama. Barulah tiga tahun kemudian mereka hijrah ke kampung halaman Dad, Australia.

Rumah Oma yang jauh dari sekolahku, membuatku terpaksa beberapa kali pindah sekolah. Ketika naik ke kelas 4, aku pindah ke SD Cita Buana, Jagakarsa. Setahun kemudian pindah lagi ke SD Tarakanita 2, Barito.

Berasal dari keluarga broken home tidak membuatku minder. Teman-teman pun tak ada yang mengejekku. Aku juga tidak lantas jadi anak yang sulit bergaul hanya gara-gara sering pindah sekolah. Malah aku jadi punya banyak teman.

Aku bersyukur sekolah di sekolah swasta yang beberapa siswanya punya orangtua ekspatriat. Punya Ayah bule pun jadi satu keuntungan buatku. Aku jadi bisa menguasai dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Apalagi dari kecil aku kan, bilingual.

Memang sih, sebelum Mami dan Dad cerai, aku merasakan keluarga yang begitu lengkap. Tapi, meski harus hidup terpisah, aku masih bisa bertemu Dad di kala weekend.

Jadi, sama sekali tak ada tarik sana-sini. Malah, waktu aku duduk di kelas 2 SMA, Mami dan Dad sudah mempersiapkanku kuliah di Australia, seperti kedua saudaraku.
Meski tinggal berjauhan, hubunganku dengan kedua saudaraku sangat dekat. Selain dengan Mami, aku paling suka curhat sama kakakku, Dewi. Mungkin karena mereka perempuan, sementara aku laki-laki paling kecil di keluarga kami, makanya mereka ngemong aku sekali.

Sering Kesepian
Kuakui, sejak perpisahan Mami dan Dad, aku sering merasa kesepian. Mami kan, kerja. Dia punya perusahaan Public Relation sendiri, Ida Sudoyo & Association. Jadi bisa dibayangkanlah kesibukan Mami.

Memang sih, di rumah ada Oma dan pembantu. Tapi tetap enggak seru. Sudah gitu, yang biasanya aku sekolah diantar-jemput oleh supir Dad, sekarang tidak lagi. Kata Mami, aku harus membiasakan naik bajaj. "Dim, mau enggak naik bajaj ke sekolah, tapi sendiri? Kalau mau, nanti Mami kasih kamu hadiah."

Mami memang selalu kasih aku rewards. Menurut Mami itu penting banget, supaya aku tahu bahwa sesuatu yang dilakukan dengan kerja keras, pasti membuahkan hasil.

Awalnya Mami sempat kesulitan mengurusku sendirian. Dulu kan ada Dad, kepala rumah tangga, dan pembantu. Setelah cerai, jadi apa-apa sendiri. Mami pun jadi lebih awas terhadap pergaulanku. Misal, kalau aku les, Mami selalu daftarin aku di tempat les yang ada teman-temanku.

Jarangnya Mami di rumah, membuatku suka cari perhatian dan manja pada Mami. Setiap kali Mami berangkat ke kantor, aku selalu mengejar mobilnya sambil nangis. Enggak cuma itu. Setiap beberapa jam aku pasti menelepon Mami ke kantornya.

Enaknya, karena aku sering dibawa Mami ke kantornya, aku jadi dekat dengan semua karyawannya. Jadi, kalau waktunya ambil rapor, aku bisa minta tolong sekretaris Mami.
Caraku mencari perhatian Mami bermacam-macam. Salah satunya dengan mengirim berita ‘darurat'. Waktu itu kan, jamannya pager. Nah, salah satu pesan yang sering kukirim ke Mami adalah "Mami aku jatuh dari tangga."

Tahu kalau aku bohong, Mami paling-paling hanya menelepon pembantu rumah. "Gimana, anak gue enggak apa-apa, kan?" tanya Mami. "Enggak, Bu, enggak apa-apa. Paling iseng doang," jawab si Embak.

Pernah lo, aku kecelakaan benaran. Pulang sekolah, aku main dengan teman-temanku di sepanjang jalan perumahan kami. Sehari-hari, kami memang suka main sepeda dan roller blade.

Ketika menyeberang, ada mobil menabrakku. Untungnya, aku tidak terluka parah. Berhubung Dad kala itu belum pindah ke Australia, jadi dia deh, yang ngurusin aku.
Kelas 4 SD, aku juga pernah jatuh di sekolah. Bibirku sampai sobek dan harus dijahit. Hebatnya, aku tidak menangis sama sekali, lo. Tapi, ketika Mami datang menjenguk, barulah aku nangis sekeras-kerasnya. Padahal sih, aku sudah enggak merasa sakit lagi. Biasa lah, cari perhatian!

‘Membunuh' Kelinci
Sejak kecil, kami sudah diajari Mami dan Dad untuk cinta binatang. Mami dan Dad bahkan selalu memelihara binatang di rumah. Ada anjing, burung betet, kelinci, dan masih banyak lagi. Kecuali kucing. Ya, kami memang paling tidak suka dengan kucing.
Saat usiaku tujuh tahun, Mami membelikanku kelinci. Setiap hari aku bermain dengan kelinciku di halaman. Suatu hari, saat sedang asik bermain, tiba-tiba kulihat kelinciku tak lagi bergerak. Panik, kutelepon sekretaris Mami. Sambil menangis, kuceritakan apa yang terjadi.

Sekretaris Mami menenangkanku dengan berjanji membawa kelinciku ke dokter hewan, sore harinya. Tapi, aku bilang tidak usah, karena kelincinya sudah kukubur. Ya, karena mengira kelinciku sudah mati, aku pun segera menggali tanah dan menguburnya di halaman rumah.

Kalau ingat kejadian itu, aku jadi geli sendiri. Sampai sekarang Mami juga tak yakin kalau kelinci itu sudah mati saat kukubur. Kalau benar begitu, berarti aku sendiri yang membunuh kelinciku. Maaf ya, kelinciku.

Binatang peliharaan yang ada di rumahku saat ini hanya seekor anjing. Namanya Bono, anjing ras Shih tzu. Kecil, lucu, bulunya putih dan lebat. Mami selalu senang jika ada anjing di rumah kami. "Lumayan ada yang bisa diajak main," begitu katanya.
Dan sejak terkena stroke tiga tahun lalu, anjing menjadi terapi yang baik untuk Mami. Sebagai penghilang stres.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar